MoU Helsinki Diungkit Lagi: Eks GAM Sebut Bendera Aceh Bagian dari Perjanjian Damai
Isu pengibaran bendera Bulan Bintang di Aceh kembali menghangat setelah seorang mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengungkap bahwa simbol tersebut sebenarnya telah diakomodasi dalam perjanjian damai MoU Helsinki. Di tengah perdebatan panjang soal legalitas dan status simbolik bendera tersebut, pernyataan ini membuka kembali diskusi tentang komitmen negara terhadap kesepakatan damai yang telah diteken sejak 2005.
Bukan Sekadar Bendera, Tapi Simbol Perjuangan
Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, bendera Bulan Bintang bukanlah sekadar kain berwarna merah dengan lambang putih. Ia adalah simbol sejarah panjang perjuangan, identitas kultural, dan harapan akan martabat daerah yang diakui secara sah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eks petinggi GAM tersebut menegaskan bahwa dalam dokumen Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, ada ruang yang mengatur pengakuan terhadap simbol dan atribut daerah, termasuk bendera. “Itu bagian dari kesepahaman damai. Bendera itu bukan improvisasi, tapi bagian dari kesepakatan yang sudah diteken bersama,” tegasnya dalam sebuah forum terbuka.
MoU Helsinki: Komitmen yang Perlu Diingat
Perjanjian damai Helsinki, yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Indonesia dan GAM, merupakan tonggak penting berakhirnya konflik bersenjata di Aceh. Salah satu poin penting dalam MoU tersebut adalah pemberian kewenangan khusus kepada Aceh, termasuk hak untuk mengatur urusan lokal, simbol daerah, hingga partai politik lokal.
Sayangnya, implementasi beberapa poin dalam MoU tersebut hingga kini masih menimbulkan perbedaan interpretasi. Salah satunya adalah soal bendera. Pemerintah pusat menyatakan bahwa bendera Bulan Bintang menyerupai simbol GAM yang pernah menentang negara, sementara pihak Aceh berpegang pada interpretasi bahwa simbol tersebut telah melalui proses demokratis lewat qanun (peraturan daerah).
Antara Legalitas dan Komitmen Politik
Pernyataan dari eks GAM ini mempertegas tuntutan agar pemerintah pusat tidak mengingkari semangat rekonsiliasi dan keadilan. Pengibaran bendera bukan hanya soal legalitas hukum, tetapi juga soal trust politik dan penghormatan terhadap perjanjian yang menjadi dasar rekonsiliasi.
“Kalau pemerintah pusat terus menghambat, ini bisa dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap MoU Helsinki. Bukan hanya masyarakat Aceh yang kecewa, tapi kepercayaan terhadap penyelesaian konflik secara damai bisa terganggu,” ungkap sang mantan petinggi.
Seruan untuk Dialog Baru
Melihat dinamika ini, berbagai kalangan mendorong agar ada dialog ulang antara pemerintah pusat dan daerah. Dialog yang tidak bersifat konfrontatif, tapi berdasar pada semangat kesetaraan dan penghormatan atas janji-janji damai.
Masyarakat sipil, akademisi, dan pemuka adat Aceh juga menyuarakan pentingnya pendekatan yang tidak represif. “Jangan sampai simbol yang membawa makna perdamaian justru kembali memantik ketegangan,” ujar seorang tokoh adat di Banda Aceh.
Bendera Bulan Bintang mungkin hanyalah sehelai kain di mata sebagian orang, namun bagi masyarakat Aceh, ia adalah representasi sejarah, harga diri, dan janji yang pernah dibuat. Ketika MoU Helsinki diungkit kembali, bukan untuk menghidupkan konflik lama, melainkan untuk mengingatkan: bahwa perdamaian sejati harus ditopang oleh keadilan, bukan sekadar kata-kata di atas kertas.