Barak Disiplin untuk Pelajar Bermasalah: Pemerintah Serius Bahas Ide Dedi Mulyadi
Sebuah wacana tak biasa kembali muncul di ranah pendidikan nasional. Mantan Bupati Purwakarta yang juga anggota DPR RI, Dedi Mulyadi, melontarkan ide kontroversial: membina siswa-siswa bermasalah di dalam barak pendidikan disiplin. Menariknya, ide ini tak sekadar jadi bahan obrolan publik. Pemerintah pusat dikabarkan tengah mengkaji kemungkinan penerapan konsep tersebut di beberapa wilayah sebagai proyek percontohan.
Ide Unik dari Sosok Nyentrik
Dedi Mulyadi memang dikenal sebagai tokoh yang kerap menabrak arus. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan pentingnya menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, etika, dan tanggung jawab kepada generasi muda. Salah satu ide yang kini menjadi sorotan adalah konsep barak pendidikan – tempat khusus bagi pelajar yang dianggap nakal, pembangkang, atau berperilaku menyimpang di lingkungan sekolah.
Menurut Dedi, barak ini bukan lembaga hukuman, melainkan tempat pembinaan karakter yang dikemas dengan pendekatan ala pendidikan semi-militer namun tetap humanis. “Bukan untuk menghukum, tapi untuk membentuk jiwa disiplin, gotong royong, dan kesadaran sosial,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Pemerintah: Masih Tahap Kajian
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan bahwa ide ini cukup menarik dan memiliki potensi, terutama dalam menangani kasus-kasus kenakalan remaja yang tak bisa lagi diatasi oleh pendekatan konvensional.
Staf Khusus Mendikbudristek mengonfirmasi bahwa pihaknya tengah mengkaji dampak, efektivitas, serta aspek hukum dan HAM dari wacana barak pendidikan ini. “Kami ingin memastikan bahwa pembinaan tidak melanggar hak anak, namun tetap memberikan efek pembelajaran dan pembentukan karakter,” ujarnya.
Pro dan Kontra Bermunculan
Sebagaimana wacana kontroversial lainnya, publik pun terbelah. Pendukung gagasan ini menilai bahwa dunia pendidikan perlu shock therapy agar para pelajar tak lagi memandang remeh norma sosial dan disiplin. Beberapa orang tua bahkan mendukung penuh ide ini, menyebutnya sebagai bentuk ‘sekolah kehidupan’ bagi anak-anak yang mulai kehilangan arah.
Namun, kritik juga tak kalah lantang. Beberapa aktivis pendidikan dan LSM perlindungan anak menyuarakan kekhawatiran bahwa konsep barak bisa menjurus pada militerisasi pendidikan dan berisiko menciptakan trauma psikologis bagi siswa.
“Anak-anak yang bermasalah butuh pendekatan psikologis dan pendidikan yang memulihkan, bukan dikarantina seperti narapidana,” ujar seorang pemerhati pendidikan anak.
Pengalaman Serupa di Daerah
Menariknya, beberapa daerah di Indonesia telah mencoba pola serupa, meskipun dalam skala kecil dan informal. Di Jawa Barat, misalnya, ada sekolah yang menerapkan program disiplin ekstra dengan melibatkan unsur TNI sebagai pembina karakter. Hasilnya, sebagian siswa menunjukkan perubahan positif, namun sebagian lainnya justru merasa tertekan.
Hal inilah yang menjadi catatan penting bagi pemerintah bila ingin merealisasikan gagasan Dedi Mulyadi secara nasional. Aspek psikologi anak, partisipasi orang tua, serta pemantauan independen harus menjadi bagian integral dari sistem tersebut.
Wacana barak pendidikan bagi pelajar bermasalah menjadi refleksi dari kegelisahan masyarakat akan merosotnya kedisiplinan dan etika di kalangan generasi muda. Gagasan Dedi Mulyadi, meski menuai pro dan kontra, setidaknya telah membuka ruang diskusi besar: apakah pendidikan kita selama ini terlalu lunak, atau justru terlalu keras?
Saat pemerintah mulai serius mengkaji ide ini, publik pun harus turut serta mengawal agar pembinaan tidak berubah menjadi penindasan, dan pendidikan tetap menjadi tempat tumbuh – bukan hanya tertib, tetapi juga manusiawi.